Selasa, 04 Oktober 2011

Aku Mohon

Kumohon
Jangan lagi meriuhkan perbincangan kita
Coba kau lihat di atas sana
Meskipun cakrawala nampak sunyi dan kelam
Namun bulan dan bintang tak pernah lelah mengeja pejalanan malam
Dengan kerlingan yang memijarkan bias'nya
Tidak'kah kita ingin seperti mereka
Juga seperti hangat'nya mentari yang selalu setia menyapa siang
Atau seperti rona jingga yang selalu stia menyapa senja
Ku mohon
Jangan biarkan terik membakar perbincangan kita lagi...
Tapi biarkanlah deras'nay rinai hujan
Membasahi ruang rindu'ku yang selalu tertuju pada'mu
Sebab aku akan mampu berada di antara rinai'nya
Meskipun mungkin dingin akan menggigilkan'ku
Tapi aku yakin...
Akan ada rona pelangi setelah hujan mereda

Sahabat Setia

Kau yg selalu bungkam
ketika aku melukai kulit halusmu
Dengan guratan-guratan aksara
Kau pun bungkam
Ketika buncahan emosi
Kuluahkan di rona pasi wajah'mu
Tak terhitung berapa banyak pena
Yang kurahimkan di dalam genggaman jemariku
Lalu menghunusi  dadamu
Tak terhitung pula berapa cairan tinta
Yang melumuri tubuhmu
Saat nurani ingin mengeluhkan kesah
Nanar netraku tak henti mencarimu
Dan ketika sosok'mu kutemui
Ku rengkuh tubuh'mu dengan binar netra ceria
Lalu ku dekap dirimu dengan rinai air mata
Seakan enggan terpisah
Meski renta akan memamah usiaku
Dan maaf jika aku harus mengucap kata
Tanpa perisai rasa malu
Aku menyayangimu tanpa tirai penghalang
Kaulah teman setiaku
Meski kau tak pernah mengucap satu katapun
Karna kau memang hanya sebuah lembaran kertas
Yang tiada bernyawa
Namun meskipun begitu
Kau sangat berarti buatku

Sahabat Tanpa Ujud

Kehadiran'mu yg tak kenal musim
Meliuk di jajaran waktu yang berpendar
Saat ramah menyapa kau berbagi tak kenal rupa
Gemulai tarian'mu menyeruak di bentangan kaki langit
Membelai helaian dahan
Berhembus disetiap desah nafas
Godamu tanpa aksara
Menyilak helaian rambut'ku
Aku hanya terdiam menikmati liukan nakal jemari'mu
Walau terkadang kau tampar pias wajah'ku
Dengan aroma dingin kau hunusi pori-poriku
Hingga tergigil tubuh'ku dalam beku
Namun aku tak pernah jengah bersahabat dengan'mu
Aku bahkan menempatkan'mu pada persemayanan yang senyap
Dan kerinduan'ku membuncah pada'mu
Saat gerah membakar peluh'ku
Engkaulah bayu Sahabat tanpa wujud dan tak berbentuk

Pasrah Dalam Simpuh

Malam belum lagi usai merinaikan pekat
Ketika angan'ku mengembara
Dibentangan belantara sunyi
Terukir kembali larik-larik kenangan
Pada lembaran kanvas gulita
Merinai kembali air mata rindu
Basahi semak-semak nurani
Yang telah lama kerontang
Gundah'ku kian bingar
Meriuh diantara lenguh nafas
Mengusik detak jantung
Ku teriak'kan kerinduan'ku Pada hembusan sang bayu
Agar sayap-sayap kegelisahan'ku berpendar
Dibentangan cakrawala
Meski ragu nurani
Apakah gendang rungu'mu akan mendengar teriakanku
Apakah pijar mata indah'mu
Akan menatap kepak sayap'ku yang telah rapuh
Dan apakah rasa'mu akan menjadi kembaran rasaku
Entahlah
Aku hanya mampu simpuh dalam pasrah
Karna memang hanya ini yang bisa ku lakukan
Menyampaikan pesan-pesan kegelisahan
Pada hembusan sang bayu
Yang mungkin hembusan'nya bisa saja datang terlambat

Senin, 03 Oktober 2011

Prasangka



Bibirku terkatup kelu
Terdiam dalam bungkam
Saat jarum-jarum prasangka
Hunusi pori-pori sukmaku
Begitu runcing menikam
Aksara yang kau guratkan
Diatas kanvas hatiku
Hingga menukik
Dikedalaman ruang nuraniku
Tak bisakah sekejap saja
Jemarimu menari tanpa prasangka
Hingga ku dapati keteduhan di rona wajahmu
Tak bisa pulakah
Kita berdamai tanpa hujat
Agar dapat kusandarkan resahku
Di dada bidangmu
Aku memohon dengan kerendahan hati
Tolong rahimkanlah sejenak
Riuhnya gemuruh prasangka
Yang tak kunjung usai
Memekakkan gendang runguku
Pusarakanlah ragumu
Benamkan pula egomu
Agar kita bisa merasakan
Betapa indah'nya rasa yang kita miliki
Kumohon padamu
Dengan ketulusan rasa yang ku miliki
Rengkuhlah aku dalam damainya pelukmu

Gulita Rebah Dipangkuan Malam





Meremang cahaya jingga
Merangkak perlahan
Meninggalkan senja
Menghilang dalam lumuran kelam
Gulitapun rebah
Dipangkuan malam
Dijulangan langit
Keanggunan sang dewi
Menaklukan kegagahan gulita
Menyapa ramah
Pada kerling gumintang
Luluh lantak pijar kejora
Bersimmpuh
Dikaki langit
Yang kian pekat
Tak selang laksaran waktu
Tangis sang embun
Kembali berderai
Meratapi ranting-ranting rapuh
Menatap dahan-dahan berguguran
Terkapar di hamparan pekat
Yang kian merepih
Dipesisir pagi

Sabtu, 01 Oktober 2011

Janji Embun Kepada Pagi

Remang cahaya malam
Berpendar dibentangan sunyi
Sementara guratan pekat
Kian merepih menyunting pagi
Tergugah sang embun
Dari  lelap'nya mengeja mimpi
Beranjak meninggalkan peraduan
Di rinaikan tangis kerinduan'nya
Pada reranting dan dedahan
Diantara lenguh nafas sang bayu
Embun tak henti bercumbu
Hingga kilau lentik jemari timur merekah
Dan memapah'nya pada peraduan
Esok hari embun akan kembali
Dengan kerinduan yang sama
Untuk menepati janji
Pada penghuni pagi
Yang tak pernah jengah menanti